0

Maafkan Aku Sobat

Kamis, 05 Januari 2012
Sang mentari bersinar marah. Sinarnya terpaku padaku seakan-akan memuntahkan cahaya panas ke tubuhku tanpa ampun. Aku terdiam. Tanpa mengeluh sedikitpun, ku kayuh sepeda miniku menyusuri jalan. Timur utara timur utara. Ya, itulah perjalananku. Akhirnya aku sampai disuatu tempat yang aku benci dalam perjalanan pulangku. Jalan berliku yang sedikit menanjak. Dekat dengan tempat yang menyeramkan. Terlihat sungai besar yang deras arusnya. Aku tetap mengayuh sepeda tanpa henti. Hingga aku sampai di pertigaan desaku. Ku kayuh sepedaku menuju utara, sampai aku berhenti disuatu rumah berwarna hijau. Pohon mangga meneduhkan halaman rumah itu. Kamboja putih yang menghiasi depan rumah itu. Ya, itulah rumahku. Langsung saja, aku mengucap “ Assalamualaikum”. Tak terdengar salam balasan di telingaku. Saat masuk rumah, ternyata tak ada satupun orang di rumahku. Orang tuaku tak ada di rumah. Entah kemana perginya. Aku segera pergi ke belakang untuk membersihkan badanku menghilangkan bau keringat yang lengket di tubuhku.
Adzan maghrib berkumandang menggetarkan gendang telingaku. Kuhentikan semua aktivitasku. Kuberanjak tuk mengambil air wudlu. Kuusap wajahku dengan handuk merah yang selalu menemaniku. Kuambil mukena, lalu berangkat ke masjid dekat rumahku. Kakiku hanya melangkah lima meter saja, tapi aku sudah berada di masjid.
Hari berikutnyapun tiba.
“ Huaaaah...”. Kata pertama yang aku ucap saat bangun tidur. Kulihat dunia luar dari jendelaku. Sang surya mulai menampakkan senyum manisnya padaku. Kudengar suara kokokan ayam yang merdu. Ayam-ayampun ikut menyapa pagi yang cerah itu. Aku beranjak keluar dari tempat tidur.
“ Srieeeet , , , pok . . .”, kuterpeleset di depan pintu kamar mandi.
Hari ini hari Minggu. Jam menunjukkan pukul 08.00 WIB. Aku berangkat ke rumah temanku. Kita akan latihan nari untuk mempersiapkan pensi. Sebelum berangkat kesana, aku menghampiri temanku di depan meubel yang kecil. Meubel Dirgantara namanya.
“ Wah . .  meubel seperti ini mana ada yang mau beli ??”, tiba-tiba saja kata-kata itu tak sengaja terlontar dari mulutku. Temanku hanya tersenyum mendengar kata itu. Tak sepatah katapun terlontar dari mulut manisnya.
“Berangkat yuk ..!!!”, kataku pada Ika, temanku tadi. Dia masih tersenyum lebar melihatku. Tak kudengar sepatah katapun dari bibirnya yang merah menggoda. Tiba-tiba saja kudengar sebuah kata.
“Hay..!!!”. Aku melihat ke kanan kiriku. Ternyata suara itu berasal dari belakang. Dia adalah temanku. Aisy namanya.
“Tunggu dulu..”, katanya sambil mentup jok motornya. Aku dan Ika terdiam sejenak sambil melihat ke kaca spionku.
“Weeeng....”, tiba-tiba sebuah motor melaju kencang di sebelah kananku. Aku tersentak kaget.
“Dasar Aisy..”, kataku kesal. Akupun langsung melaju mengikuti Aisy.
Setelah 15 menit kita sampai di Desa Bedingin. Suasananya sejuk, udara segar, sawah hijau terbentang luas. Sungguh mengagumkan. Ya, di sawah Bedingin aku melihat seorang cewek dengan jilbab putihnya.
“Eh Lili...”, kata Ika kaget. Aku hanya tersenyum dengan menambah kelajuan pada motorku. Akhirnya kita sampai di rumah temanku. Bersih, indah, dan rapi. Di depan rumahnya, aku melihat sebuah motor Honda berplat AE4997SH. Setelah aku masuk, ternyata ada seseorang yang lagi duduk sambil pegang HP. Ya, Lucy namanya. Detik demi detik berputar. Dua orang temanku, Lili dan Nova datang dengan plastik hitam di tangan Nova.


“Eh, ini lo ada sedikit cemilan dari Lili. “, katanya. Kita hanya tersenyum dengan HP di tangan kita masing-masing. Kami berenam telah berkumpul. Salah satu teman kita, Idha tidak datang. Kitapun langsung memulai latihan. Serentak HP kita letakkan di atas meja dekat cemilan. Sedikit demi sedikit gerakan itu mulai bisa kita ikuti.  Gerakan lemah gemulai Nova mulai terpancar dari tubuhnya yang pandai berlenggak-lenggok mengiringi musik. Tak terasa, waktu sudah siang. Sekitar pukul 10.00 WIB, kita mengakhiri latihan untuk hari ini. Karena lelah dan haus, aku mengambil segelas minuman dari meja tamu. Aku pergi keluar. Aisy mengikuti di belakangku. Aku teringat pada meubel kecil tadi. Aku bertanya pada Aisy dengan wajah tak bersalah.
“Eh, tadi itu meubel siapa sih, kug kecil banget ???. Pasti gak ada yang mau beli...”
“Hushh,, jangan bilang begitu ..!! Itu meubelnya Ika tauuu ...”, jawab Aisy.
“Astaghfirullah, Ya Allah, Ya Rabb...”. Aku malu dengan Ika. Aku merasa bersalah tentang apa yang aku katakan pagi tadi. Aisy masuk lagi. Akupun mengikuti di belakangnya dengan tingkah laku yang aneh.
Akhirnya Lili mengajak kita jalan-jalan keliling desanya tercinta. Naik turun, jalan setapak berbatu kita lewati. Tapi pemandangan di sana sungguh mengejutkanku. Kita bisa melihat air terjun dari kejauhan. Kulihat pohon yang amat besar. Hijau, rimbun, dan sejuk. Tak terasa waktu menunjukkan pukul 12.00 WIB. Kecerahan pagi berubah menjadi awan yang hitam kelam.
“Kayaknya mau hujan nih...”, kata Lucy.
“Pulang yuk..!!!”, ajakku.
“Yuk...”, sahut teman-teman serempak.
Di tengah perjalanan, kita beristirahat sebentar untuk melihat Sirah Keteng di Bedingin, patung kepala besar yang di depannya tersaji sesajen gitu. Saat temanku turun dari motornya.
“Glodak...”. Kedua temanku jatuh. Dengan wajah bengong hati deg-degan badan gemetar, aku terdiam lemas. Semua temankupun juga begitu. Bukannya cepat menolonng, tapi malah bengong.
Tapi untungnya temanku tidak ada yang terluka. Akhirnya kita pulang. Sebelum sampai di rumah, kira-kira masih setengah jalan, gerimis turun membasahiku. Kelajuan motor yang kunaiki menunjuk angka 80 km/jam. Waw, aku tak biasa naik motor berkelajuan tinggi.
“Ssssseet...”, suara ban motorkku. Aku mengerem mendadak. Ika yang aku bonceng sampek mendorongkku ke depan. Kepala Ika membentur helmku, tangan Ika memegang erat pinggangku. Aku dan Ika spontan kaget setengah mati. Orang laki-laki bersepeda motor yang berusia sekitar 55 tahun, dengan helm mungil yang kelihatan rapuh di kepalanya dan dua keranjang bambu di kanan kirinya yang berisi buah mangga muda berhenti mendadak tepat di depanku. Tidak hanya aku dan Ika yang kaget, tetapi orang tersebut juga kaget. Dengan wajah tak bersalah, tak sepatah katapun terucap dari mulutnya. Padahal kata maaf yang kuharap darinya. Ya sudahlah, aku melanjutkan perjalananku.
Sampai di Jetis, ternyata sang mentari tak enggan memberi senyumnya pada kami. Kamipun memberi senyuman balasan. Tanpa sengaja kelajuan motorku kembali stabil. Kuturunkan Ika di depan meubel tadi pagi. Sebenarnya aku malu mengatakan ini. Aku takut dia marah. Akhirnya terlontar juga kata-kata ini dengan tersendat-sendat.
“Ka..Ka.. Aku minta maaf ya. Aku gak tau kalau ini meubelmu. Aku gak bermaksud apa-apa kug. “. Dengan senyum yang memancar, dia menjawab.
“Aku gak marah kug. Gak perlu minta maaf. Kamu gak salah Ay.. Sudahlah, jangan dipikirin lagi. Cepet pulang deh, ntar dimarahin ortu lo...” Aku berterima kasih sama dia. Kulambaikan tanganku padanya dengan wajah ceria.
Hari ini hari yang penuh kenangan bagiku. Sungguh pengalaman yang mengesankan. Aku mengambil hikmah dari kejadianku ini. Bahwa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
LEBIH BAIK DIAM DARI PADA BERBICARA BILA TIDAK ADA GUNANYA.

0 komentar:

Posting Komentar